Rabu, 19 Mei 2010

Tak Berujung


Ia lebih suka mendengarkan lagu2 sedih saat sedang terpuruk. Entah karena cinta, pekerjaan, hidup yang tak pernah terasa adil, atau hanya karena moodnya yang tak bisa diajak kompromi. Membiarkan nada2 mengayun2kan hatinya, mempermainkan perasaannya, dan membolak-balikkan emosinya. Ia memilih terhanyut, bahkan sesekali tenggelam dalam kepedihannya. Tak peduli orang berkata apa, tak peduli dunia tlah berlari meninggalkannya, tak peduli ia masih terkungkung dalam ruang gelapnya sendiri. "Ini duniaku."

Lalu ia akan tersadar. Dari sakit yang entah sudah berapa juta tahun ia cumbui. Seperti anak kecil yang terlepas dari genggaman ibunya. Tak tahu harus kemana, tak tahu harus berbuat apa. Tapi kemudian ia memutuskan berjalan. Ke arah yang ia yakini akan berujung cahaya. Tak ada kepastian. Hanya keyakinan.

Satu waktu ia bimbang. 'Apa ini memang jalan yang tepat? Apa di ujung sana kan kudapati cahaya? Atau, hanya hamparan pasir hitam tak berujung?' Sifat manusianya muncul. Segala yang terburuk tergambar jelas di pikirannya. Detik berikutnya... ia hanya mematung. Tak lagi sesemangat waktu ia memutuskan berjalan. Nampaknya pikiran negatifnya sedang bersorak2 merayakan kemenangannya. Ia berhenti. Kembali menyalahkan hidup yang tak pernah adil terhadapnya. Mendengarkan musik sedih? Rasanya tak perlu. Itu hanya akan semakin membulatkan tekadnya untuk berbalik arah. Yang sekarang ia butuhkan hanya bernafas. Membiarkan molekul2 O2 mengalir di darahnya, membawanya ke otak dan jantungnya. Dan sepertinya itu bekerja. Pikirannya tak lagi sekalut sebelumnya dan detak jantungnya semakin bersahabat. Cukup? Sepertinya. Karena ia memutuskan untuk kembali menapaki jalannya.

Berakhir? Tak bisa dipastikan berakhir dengan apa. Entah happy ending, entah sad ending. Karena ia tlah berjalan sedemikian jauh. Dan penglihatan penulis tak bisa menangkapnya. Maafkan. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar